Kamis, 16 Juni 2016

HAKEKAT MANUSIA MENURUT SOREN AABYE KIERKEGARD

HAKEKAT MANUSIA
MENURUT SOREN AABYE KIERGAARD
(1813 – 1855)



Sejarah Singkat Kierkegaard

Soren Aabye Kierkegaard (1813-1855) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke 19 yang berasal dari Denmark. Hidup singkat Kierkegaard dimulai dan diakhiri di Danish city of Copenhagen. Lahir di Kopenhagen tanggal 5 Mei 1813 dan meninggal di kota yang sama pada tanggal 11  November 1855 pada usia 42 tahun. Kierkegaard adalah sosok pribadi yang kadang agak aneh, kadang-kadang sinis dan kadang-kadang pemikir religius yang sangat mendalam.

Ia dibesarkan di sebuah keluarga Kristen yang didominasi oleh ayah-seorang kaya tapi melankolis-yang tersiksa oleh perasaan bersalah.  Ia mengikuti keinginan ayahnya dan masuk ke Universitas Kopenhagen tahun 1830 untuk belajar teologi, namun sikap memberontak terhadap pendidikan di keluarganya telah mengalihkannya dari pengajaran yang serius terhadap rencana awal. Sikap Kierkegaard yang tak memiliki motivasi untuk belajar teologi, digantikan dengan minat besar pada sastra dan filsafat dan sangat antusias pada kehidupan sosial yang liberal dari teman-teman intelektualnya.

Selama beberapa tahun, Kierkegaard hidup tanpa tujuan yang jelas kecuali untuk menolak masa lalu. Rekonsiliasi dengan ayahnya dan sebuah orientasi yang baru, tejadi di tahun 1833 dengan apa yang dipandang Kierkegaard sendiri sebagai konversi religius. Ditahun 1840, ia mendapatkan gelar dibidang teologi dari Universitas dan kemudian bertunangan dengan Regina Oselen.

Hidup Kierkegaard tampak stabil. Tetapi setelah setahun, ia membatalkan pertunangannya. Alasan pembatalan ini tidak jelas, tetapi satu faktor utama adalah keyakinan Kierkegaard bahwa ia memiliki tugas agama yang harus dipenuhi dan pernikahan tidak sesuai dengan tugas itu. Ia memutuskan hidup tanpa menikah dan hidup demi gereja dan perkembangan ilmu pengetahuan. Ia banyak belajar filsafat, kesusastraan dan buku-buku lainnya. Karya filsafat Jerman yang banyak dibacanya adalah filsafat Hegel.

Antara tahun 1843 hingga 1846, Kierkegaard banyak menulis buku dan esai, tetapi buku-buku itu terdiri dari dua jenis yang secara fundamental sangat berbeda. Di satu sisi, ada serangkaian tulisan-tulisan dengan nama samaran (misalnya, Either/Or (1843), Fear and Trembling (1843), Philoshohycal Fragments (1844), dan Concluding Unscientific  Postcript (1846). Kierkegard memiliki nama bagi teknik dari tulisan-tulisannya yang memakai nama samaran: komunikasi tidaak langsung (indirect communication).


Eksistensi Manusia Sebagai Individu

Menurut Kierkegaard, pertama-tama yang penting bagi manusia adalah keadaannya sendiri atau eksistensinya sendiri. Akan tetapi, harus ditekankan, bahwa eksistensi manusia bukanlah suatu “ada”  yang statis, melainkan suatu “menjadi”, yang mengandung di dalamnya suatu perpindahan dari “kemungkinan” ke “kenyataan”. Apa yang semula berada sebagai kemungkinan  berubah atau bergerak menjadi suatu kenyataan. Perpindahan atau perubahan ini adalah suatu perpindahan yang bebas, yang terjadi dalam kebebasan dan keluar dari kebebasan yaitu karena pemilihan manusia. Jadi eksistensi manusia adalah suatu eksistensi yang dipilih dalam kebebasan. Bereksistensi berarti bereksistensi dalam suatu perbuatan, yang harus dilakukan setiap orang bagi dirinya sendiri. menurut Kierkegaard, yang dibutuhkan dalam hidup ini adalah suatu passion, suatu antusiasme, suatu gairah, suatu semangat, dan keyakinan pribadi, yang dilandasi oleh kehendak bebas dan afeksi (emosi).

Kierkegaard berpendapat, subyektivitas merupakan kebenaran pertama, hal mana menjadi dasar bagi eksistensi pribadi. Bahkan, menjadi subyektif adalah tugas bagi setiap manusia. Kierkegaard membela pengalaman subyektif terhadap totalisasi dan obyektivisasi sistem Hegelian. Kierkegaard juga menolak segala bentuk ilmu tentang manusia, jika ilmu-ilmu itu justru mengorbankan individualitas dan keunikan manusia yang dikajinya.

Dalam kaitan agama, Kierkegaard beranggapan, kepercayaan pada Tuhan akan selalu melibatkan pilihan individual, suatu ”loncatan iman” individual. Apa yang dilibatkan dalam kehidupan iman tidak dapat disangkal, atau dalam hal ini divalidasi, oleh logika konvensional atau sintesis rasional. Dengan demikian, Kierkegaard praktis menolak pandangan Hegel. Jika filsafat agama secara tradisional berusaha mendamaikan iman dan nalar (rasio), Kierkegaard justru mengambil langkah yang bertentangan dan menegaskan ketidakcocokan antara keduanya. Yakni, ada diskontinuitas mutlak antara yang manusiawi dan yang ilahiah.

Berdasarkan pemikiran tersebut, maka jelas bahwa bereksietensi berarti berani mengambil keputusan yang menentukan hidup. Maka barangsiapa tidak berani mengambil keputusan, ia tidak bereksistensi dalam arti yang sebenarnya. Itulah pemikiran Kierkegaard, bahwa ada eksistensi yang sebenarnya dan ada eksistensi yang tidak sebenarnya. Tiap eksistensi memiliki cirinya khas. Kierkegaard membedakan adanya tiga bentuk eksistensi, yaitu: bentuk estetis, bentuk etis dan bentuk religius.

a.     Bentuk Estetis
Tahap etis adalah tahap di mana orientasi hidup manusia sepenuhnya diarahkan untuk mendapatkan kesenangan. Pada tahap ini manusia dikuasai oleh nalusi seksual (libido), oleh prinsip-prinsip kesenangan yang hedonisme, dan biasanya bertindak menurut suasana hati (mood).  Manusia estetis hidup untuk dirinya sendiri, untuk kesenangan dan kepetingan pribadinya.

Manusia estetis merupakan manusia yang hidup tanpa jiwa. Ia tidak mempunyai akar dan isi di dalam jiwanya. Kemauannya adalah yang mengikat diri pada kecenderungan masyarakat dan zamannya. Yang menjadi trend dalam masyarakat menjadi petunjuk hidupnya, dan oleh sebab itu ia ikuti secara seksama. Namun kesemuanya itu tidak dilandasi oleh passion apapun, selain keinginan untuk sekadar mengetahui dan mencoba. Hidupnya tidak mengakar dalam, karena dalam pandangannya, pusat kehidupan ada di dunia luar. Panduan hidupnya dan moralitasnya ada pada masyarakat dan kecenderungan zamannya.

Manusia estetis adalah manusia yang pada akhir hidupnya hampir tidak bisa lagi menentukan pilihan, karena semakin banyak alternatif yang ditawarkan masyarakat dan zamannya. Jalan keluarnya hanya ada dua: bunuh diri (atau, bisa juga lagi dalam kegilaan) atau masuk kedalam tingkatan hidup yang lebih tinggi, yakni tingkatan etis.

b.     Bentuk Etis
Memilih hidup dalam tahap etis berarti mengubahpola hiudp yang semula estetis menjadi etis. Ada semacap “pertobatan”, dimana individu mulai menerima kebajikan-kebajikan moral dan memilih untuk mengikatkan diri kepadanya. Prinsip kesenangan (hedonisme) dibuang jauh-jauh dan sekarang ia menerima dan menghayati nilai-nilai kemanusiaan yang bersifat universal. Sudah mulai ada passion dalam menjalani kehidupan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang dipilihnya secara bebas. Dalam kaitannya, dengan perkawinan, manusia etis sudah bisa menerimanya. Hidup manusia etis tidak untuk kepentingannya sendiri, melainkan demi nilai-nilai kemanusiaan yang jauh lebih tinggi.

Jiwa individu etis sudah mulai terbentuk dan akar kepribadiannya cukup kuat dan tangguh. Manusia etis akan sanggup menolak tirani atau kekuasaan dari luar, baik yang bersifat represif maupun non-represif, sejauh tirani atau kuasa itu tidak sejalan dengan apa yang diyakininya. Setiap kuasa yang mengingkari nilai-nilai kemanusiaan akan ditentangnya dengan keras.

c.     Bentuk Religius
Keotentikan hidup manusia sebagai subjek atau “aku” baru akan tercapai kalau individu, dengan “mata tertutup”, lompat dan meleburkan diri dalam realitas Tuhan. Seandainya kita hendak melompat dari tahap estetis ke tahap etis, maka secara rasional kita bisa mempertimbangkan segala konsekuensi yang mungkin akan kita hadapi, sedangkan lompatan daya tahap etis ke tahap religius nyaris tanpa pertimbangan-pertimbangan rasional. Tidak dibutuhkan alasan atau perimbangan rasional dan ilmiah disini. Yang diperlukan hanyalah keyakinan subyektif yang berdasarkan iman. Nilai-nilai religius bersifat murni subjektif, sehingga seringkali sulit diteruma akal sehat.

Hidup dalam Tuhan adalah hidup dalam subjektivitas transenden, tanpa rasionalisasi dan tanpa ikatan pada sesuatu yang bersifat duniawi atau mundane. Kessulitan atau hambatan yang pertama-tama dijumpai oleh individu saat memutuskan untuk lebur dalam kuasa Tuhan adalah paradoksalitas yang terdapat di dalam Tuhan sendiri. Tuhan (dan perintah-perintahNya) adalah sesuatu yang paradoks. Persoalan tentang ada atau tidak adanya Tuhan, dan persoalan tentang sifat-sifat baik Tuhan merupakan salah satu contoh saja dari banyak paradoks Tuhan. Tidak mungkin ada penjelasan rasional unutk menjelaskan paradoks itu, karena paradoks Tuhan bukan sesuatu yang bisa dipikirkan secara rasional. Hanya dengan keyakinan subjektif yang berdasarkan pada iman saja individu bisa menerima paradoks itu.

Tangtangan berikutnya yang dirasakan individu saat akan memilih hidup di jalan Tuhan adalah kecemasan yang mencekam dan menggetarkan (Angst). Hidup manusia akan berakhir dalam kebahagiaan abadi, kalau ia sudah berada dalam tahap eksistensi yang religius.


Sumber:

http://www.kompasiana.com/amelasasih.prianggi/manusia-menurut-tokoh-kierkegaard-monggo-dibaca_55301b346ea83446288b45f

http://kadosorehari.blogspot.co.id/2014/03/riwayat-hidup-soren-kierkegaard-filsuf.html


Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat.Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

Minggu, 05 Juni 2016

FILSAFAT MANUSIA - JEAN PAUL SARTRE

FILSAFAT MANUSIA - JEAN PAUL SARTRE
Kebebasan dengan Filsafat Eksistensial



Jean Paul Sartre atau yang biasa dikenal dengan nama Sartre merumuskan seluruh usaha filsafatnya dalam satu kalimat pendek: “ merekonsiliasikan subjek dan objek”. Usaha ini brangkali didorong oleh pengalaman fundamental Sartre tentang kebebasan (diri sebagai subjek) dan tengan benda (sebagai objek). Hal ini menurut Sartre merupakan simbol kondisi manusia yang mengalami dirinya sebagai makhluk bebas, tetapi selalu dihadapkan pada kuasa atau daya tarik benda. Berkaitan dengan pengalaman tentang kebebasan adalah pengalaman tentang kesadaran sendiri. bagi Sartre kebebasan ternyata penuh dengan paradoks dan sekaligus menyesakkan. Kebebasan dibebankan kepada kita oleh situasi yang tidak kita pilih dan tanpa alternatif lain kita harus menerimanya begitu saja.selain itu, kebebasan bukanlah sesuatu yang mapan dan padat, yang bisa kita andalkan sebagai sandaran yang kokoh untuk hidup kita. Sebaliknya, kebebasan amatlah rapuh san selamanya berada dalam posisi yang rentan dan terancam. Ancaman dari benda. Karena benda memiliki daya tarik dan daya pikat yang luar biasa, yang mampu menjerat dan menghancurkan kebebasan.

Filsafat Sartre mengenai eksistensial menjadi sangat terkenal terutama setelah ceramahnya mengenai eksistensial. Ceramah itu selain untuk alat penangkalan kaum komunis dan gereja Katolik, ceramah itu sekaligus merupakan upaya rekonsiliasi baru antara kebebasam dan ada lewat suatu humanisme. Sartre mengubah interpretasinya tentang manusia (kesadaran). Manusia tidak dipandan sebagai gairah yang sia-sia, melainkan dipandangnya sebagai anugrah. Ia juga merubah pandangan tentang hidup bersama atau relasi antarmanusia, tidak lagi diinterpretasikan sebagai konflik, tepai menjadi kebersamaan. Dalam memilih dan memperjuangkan kebebasannya, manusia tidak harus melakukannya untuk kebaikan diri sendiri, melainkan untuk kebaikan segenap umat manusia. Masa ini adalah masa ketika Sartre terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan politik internasional dan ketika eksistensialisme dipandang sebagai filsafat yang mempunya komitmen politik. Dalam periode ini “pembebasan” eksistensi manusia bukan lagi dengan cara berlindung di bawah naungan keindahan dan penciptaan artistik, melainkan dalam bentuk penjuangan sosial dan komitmen yang tinggi pada revolusi sosial kaum proletar.

Kebebasan merupakan esensi kesadaran yang termasuk dalam aspek negatif. Karena terkadang Sartre menggunakan istilah kebebasan yang seakan-akan sinonim dengan kesadaran, jadi timbul kesan bahwa kesadaran identik dengan kebebasan. Pendirian Sartre tentang kebebasan sangatlah ekstrim. Dalam kajian fenomenologisnya tentang imajinasi, ia coba membuktikan bahwa kesadaran imajinatif mengandaikan kapasitas manusia untuk menjauh dari kausalitas dunia, sedemikian rupa sehingga kesadaran terbebas dari relasi-relasi kausal yang mengungkungnya. Lepas dari betapa ekstrimnya pandangan Sartre mengenai kebebasan, kita bisa melihat adanya unsur positif dari pandangannya itu. Unsure positif itu berkaitan dengan pilihan dan penentuan bentuk dan makna eksistensi kita sendiri. Eksistensi kita, keberadaan kita yang sejati, tidak lain adalah produk dari perbuatan-perbuatan bebas kita sendiri. kendati kebebasan pada prinsipnya dan pada awal mulanya dibebankan kepada manusia dalam suatu situasi yang sudah tertentu dan yang bukan merupakan pilihannya, tapi manusia bebas sebebas-bebasnya untuk mengubah makna situasinya itu, yakni dengan perbuatan dan usaha yang dipilih dan ditentukan oleh dirinya sendiri. situasi yang dibebankan kepada manusia ( misalnya: cacat tubuh atau trauma), justru merupakan prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia, tanpa situasi-situasi yang tidak dipilih sendiri.


Rabu, 25 Mei 2016

PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE - FILSAFAT MANUSIA

PEMIKIRAN AUGUSTE COMTE
3 TAHAP PERADABAN MANUSIA


Sebagai teori tentang perkembangan sejarah manusia, Comte membuat tesis sendiri mengenai tahap-tahap perkembangan akal budi manusia, yang secara linear bergerak dalam urutan-urutan yang tidak terputus. Perkembangan itu bermula dari tahap mistis atau teologis ke tahap metafisis, dan berakhir pada tahapan yang paling tinggi , yakni tahap positif.

1.    Tahap Teologis
Tahap ini merupakan tahap paling awal dari perkembangan akal manusia. Pada tahap ini manusia berusaha menerangkan segenap fakta/kejadian dalam kaitannya dengan teka-teki alam yang dianggapnya berupa misteri. Akal manusia ditahap ini menghayati dirinya sebagai bagian dari keseluruhan alam yang selalu diliputi oleh rahasia yang tak terpecahkan oleh pikirannyayang sederhana. Tahap perkembangan ini bisa kita jumpai pada manusia-manusia purba.

Dalam tahap teologis ini terdapat beberapa bentuk atau cara berfikir, yaitu:
a.     Fetiyisme
b.     animisme
c.      politeisme
d.     monoteisme

Cara berfikir ini membawa pengaruh yang besar pada kehidupan sosial, budaya dan pemerintahan. Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang kemudian dijadikan pedoman hidup masyarakat, disamping sebagai landasan institusional serta kenegaraan suatu bangsa dan sebagai alat jastifikasi para raja (atau kepala negara) yang berkuasa.  Peran rohaniawan, termasuk para dukun sangan menentukan dan mereka diyakini mampu memperantarai manusia dengan Tuhan. Raja sebagai pejabat tertinggi negara mempunya legitimasi teologis: baik sebagai wakil Tuhan di bumi maupun sebagai titisan dewata yang suci.

2.    Tahap Metafisis
Pada tahap ini manusia mulai mengadapak perombakan atas cara berpikir lama yang dianggapnya tidak sanggup lagi memenuhi keinginan manusia untuk menemukan jawaban yang memuaskan tentang kejadian alam semesta. Pada tahap ini semua gejala dan kejadian tidak lagi diterangkan dalam hubungannya dengan kekuatan yang bersifat supranatural atau rohani. Manusia kini mulai mencari pengertian dan penerangan yang logis dengan cara membuat abstraksi-abstraksi dan konsepsi-konsepsi metafisik. Manusia pada tahap ini berusaha keras untuk mencari hakikat atau esensi dari segala sesuatu. Mereka tidak puas dengan hanya dengan mencari pengertian-pengertian umum tanpa dilandasi oleh pemikiran-pemikiran dan atgumentasi-argumentasi logis. Untuk tujuan itu, dogma agama mulai ditinggalkan dan kemampuan akal budi mulai dikembangkan. Manusia mulai mengerti bahsa irrasionalitas harus disingkirkan, sedangkan analisis berfikir perlu dikembangbiakkan.

3.    Tahap Positifistik
Cara berfiir baru dan final yakni cara berfikir positif. Karena tahap metafisis pada dasarnya merupakan tahap peralihan saja dari cara berfikir lama (teologis). Untuk menerangkan proses perkembangan akal budi manusia secara individual, comte menulis: “Sebagai anak kita menjadi seorang teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika, dan sebagai orang dewasa kita menjadi ahli ilmu alam”. Seperti halnya proses alam yang lazim terjadi, sebelum sampai pada masa dewasa, dari masa anak-anak, manusia harus mengalami masa transisi pada masa remaja.

Pada tahap positif, gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secar a priori, melainkan berdasarkan pada observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti. Akal mencoba mengobservasi gejala dan kejadian secara empiris dan hati-hati untuk menemukan hokum-hukum yang mengatur (yang menjadi sebab musabab timbulnya) gejala dan kejadian itu. Hukum-hukum yang ditemukan secara demikian bersifat:
a.     Nyata dan jelas karena sumbernya diperoleh secara langsung dari gejala-gejala dan kejadian-kejadian positif yang dapat dialami oleh setiap orang.
b.     Pasti dan dapat dipertanggungjawabkan karena semua orang dapat membuktikannya dengan perangkat metodis yang sama seperti yang dipakai untuk menemukan hokum tersebut.
c.      Praktis dan Bermanfaat karena jika kita mengetahui dan menguasai hokum-hukum tersebut, maka kita dapat mengontrol dan memanipulasi gejala-gejala dan kejadian-kejadian tertentu sebagai sarana untuk mewujudkan kehidupan di masa depan yang lebih baik.

Dengan kata lain, tanpa perlu bantuan dari agama dan metafisika, ilmu pengetahuan dengan sendirinya membawa moralitas dan humanismenya sendiri. selain itu, ilmu pengetahuan pun memiliki kemampuan unuk mencegah kita dari keinginan tidak rasional untuk berperang dan melakukan penindasan terhadap alam dan manusia.



SUMBER:
Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat.Bandung. PT. Remaja Rosdakarya


Selasa, 10 Mei 2016

KEHENDAK UNTUK BERKUASA DAN MANUSIA UNGGUL - FRIEDERICH NIETZCHE

KEHENDAK UNTUK BERKUASA DAN MANUSIA UNGGUL
Filsafat Friederich Nietzche


Frederich Nietzche atau yang biasanya disebut Nietzche. Ia dilahirkan oleh keluarga yang taat akan agama. Ayah Nietzche adalah seorang pendeta terkemuka dan ibunya adalah penganut Kristen yang taat. Kematian ayahnya yang relatif muda, membuat pola asuh ibunya lebih dominan. Nietzche dididik dala atmosfer yang penuh kehalusan dan kelembutan seorang wanita. Nietzhe sangat suka menyendiridan membaca alkitab. Dalam Nietzche, ia memiliki semangat, kehormatan, dan kebanggaan. Seluruh hidupnya dihabiskan untuk mencari “perlengkapan” fisikal dan intelektual, agar maskulinitas yang diidealkannya semakin kokoh dan kuat.

Nietzche mengembangkan filsafat etika berdasarkan teori evolusi. Baginya hidup adalah perjuangan untuk bereksistensi, dimana organisme yang paling pantas untuk hiduplah yang berhak untuk terus melangsungkan hidupnya. Maka kekuatan adalah kebajikan yang utama dan kelemahan adalah keburukan yang memalukan. Hidup adalah medan laga tempat seluruh makhluk hidup bertarung agar terus bisa melangsungkan hidupnya. Dalam kehidupan, kita tidak membutuhkan kebaikan melainkan kekuatan, kebanggaan diri dan kecerdasan yang amat sangat tajam.

Pada usia kedelapan belas ia kehilangan kepercayaan pada Tuhan, dan menghabiskan sisa hidupnya untuk mencari tuhan yang baru. Ia menemukan Tuhan yang baru dalam Manusia Unggul.


KEHENDAK UNTUK BERKUASA DAN MANUSIA UNGGUL

1.     Moralitas
Dalam kesepiannya yang mencekam Nietzche menulis beberapa naskah yang kemudian dikumpulkan dalam dua buah judul: Beyond Good and Evil (1886) dan The Genealogy of Moral (1887). Dalam kedua buku tersebut ia bermaksud untuk menghancurkan moralitas lama dan mempersiapkan jalan untuk moralitas Manusia Unggul.

Di balik semua “moralitas” tersebut adalah kehendak rahasia untuk berkuasa. Rasio dan moralitas tidak bernaya melawan nafsu untuk berkuasa. Rasio dan moralitas hanyalah senjata yang digenggam nafsu dan menjadi barang mainannya. Rasio dan moralitas adalah keinginan yang tersembunyi  yang merupakan hentakan-hentakan dari kehendak untuk berkuasa yang menentukan pikiran kita.

Etika yang sejati bersifat biologis. Kita harus menilai segala sesuatu berdasarkan pada maknanya untuk hidup.  Kita membutuhkan sesuatu lintas penilaian yang bersifat fisiologis terhadap semua nilai yang ada. Ujian nyata bagi setiap manusia adalah energi, kemampuan, dan kekuasaan.

2.     Manusia Unggul
Sebagaimana moralitas tidak terletak pada kebaikan, demikian juga tujuan dari kerja keras manusia bukanlah demi peningkatan kualitas hidup umat manusia, melainkan demi perkembangan individu-individu unggul yang lebih baik dan lebih kuat.

Manusia Unggul dapat hidup dan bertahan hanya melalui seleksi manusia, melalui perbaikan kecerdasan, dan pendidikan yang meningkatkan derajat serta keangungan individu. Manusia Unggul tidak dilahirkan oleh alam.

Calon Manusia Unggul yang baru lahir membutuhkan peningkatan kecerdasan. Diperlukan pendidikan yang keras, di mana kesempurnaan merupakan materi utamanya, dan “tubuh dilatih untuk menderita dalam keheningan yang diam, sedangkan kehendak dilatih untuk memerintah dan mematuhi perintah”

Energi, intelek dan kehormatan atau kebanggaan diri membuat manusia unggul. Namun semuanya harus selaras: gairah akan menjadi kekuatan, hanya jika mereka dipilih dan dipadukan oleh suatu tujuan yang besar, yang mampu membantuk berbagai keinginan yang masih kabur ke dalam kekuatan satu kepribadian. “kesengsaraan bagi para pemikir ibarat tanah subur bagi tanaman”.

Hal yang paling baik adalah mendisiplinkan diri, berbuat keras terhadap diri sendiri.”Manusia yang tidak ingin menjadi komponen massa, berhentilah memanjakan diri sendiri”. Kita harus keras dengan orang lain, tetapi terutama pada diri kita sendiri; kita harus mempunya tujuan dalam menghendaki apa saja, kecuali berkhianat pada teman sendiri. itulah tanda kemuliaan, rumus akhir Manusia Unggul.

3.     Dekadensi
Dekadensi adalah kemerosotan atau kemunduran akhlak. Demokrasi harus dilenyapkan sebelum terlambat. Langkah pertama adalah menghancurkan kristianisasi karena kemenangan Kristus adalah permulaan Demokrasi: “Tujuan Kristus adalah berontak terhadap orang-orang yang memperoleh hak istimewa; ia hidup dan berjuang untuk kesamaan hak”.

Setelah Eropa ditaklukan oleh Kristianisasi, berakhir sudah aristokrasi kuno dan dibanjirilah Eropa oleh para bangsawan perang Jerman yang membawa pembaharuan tentang kebajikan maskulin, serta menanamkan akar-akar aristokrasi modern. Mereka tidak dibebani oleh moral dan bebas dari pembatas-pembatasan sosial. Mereka lah yang merupakan sumber lahirnya para penguasa yang hebat untuk Jerman, Rusia, Perancis, Inggris, Skandinavia, dan Italia.

Akan tetapi “wadah” yang yang menyediakan dan menyimpan para pemimpin besar tersebut telah dirusak, pertama oleh sanjungan Katolik pada kebajikan perempuan, kedua oleh cita-cita Puritan dan Reformasi, dan ketiga oleh perkawinan campuran dengan manusia-manusia lemah dan imperior. Reformasi menghancurkannya kristenisasi dengan menghidupkan kekakuan dan kehitmatan Yahudi.

Maka, dekadensi terjadi di mana-mana. Protestanisme dan bir telah membuat tumpul kecerdikan bangsa Jerman. Di Perancis misalnya, tampak setelah terjadinya Revolusi. “ Kemuliaan cita rasa, perasaan, dan tata cara bangsa Eropa merupakan hasil karya bangsa Perancis. Tetapi itu semua berasal dari Perancis yang lama (abad ke-16 dan 17). Revolusi, dengan jalan memporak-porandakan aristokrasi, berarti menghancurkan wadah dan benih kebudayaan. Sekarang roh Perancis jadi redup dan pucat-pasi dibadingkan sendan sebelum-sebelumnya”.

4.     Aristokrasi
Jalan menuju Manusia Unggul tidak bisa lain adalah melalui aristokrasi. Aristokrasi adalah bentuk pemerintahan yang berada di kelompok kecil atau yang berkuasan. Demokrasi adalah penyimpangan. Demokrasi merupakan izin yang diberikan pada setiap bagian dari organisme untuk melakukan apa saja yang disukainya. Demokrasi berarti pemujaan pada “orang kebanyakan” dan kebencia pada “orang-orang unggul”. Demokrasi juga berarti ketidakmungkinan lahirnya Manusia Unggul dan bangsa-bangsa besar.

Feminisme adalah akibat langsung dari demokrasi dan kristianisasi. Emansipasi atau kesamaan hak antara perempuan dan laki-laki adalah tidak mungkin karena perang antara perempuan dan laki-laki tidak akan pernah ada akhirnya. Perdamaian bisa tercipta hanya kalau yang satu atau yang lain menjadi penguasa. Bersama feminisme datanglah sosialisme dan anarkisme, yang tidak lain adalah sampah demokrasi.

Persoalan politik yang sebenarnya adalah bagaimana menghindari penguasa menjadi pemimpin, menjadi orang yang mengatur. Pengusaha mempunya pandangan yang pendek dan pikiran yang sempit. Mereka tidak seperti para aristokrat yang dilatih untuk menjadi negarawan, yang berwawasan luas dan pemikiran yang dalam. Jadi merekalah para pengusaha yang sebutlnya mempunyai hak untuk mengatur, untuk menjadi penguasa.


SUMBER :

Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat.Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

http://www.kompasiana.com/igaayu/konsep-manusia-pemikiran-nietzsche_552e59cf6ea83440508b457a 

Minggu, 10 April 2016

ARTHUR SCHOPENHAUER

ARTHUR SCHOPENHAUER


Arthur Schopenhauer merupakan seseorang yang beruntung dalam kehidupan. Ia hidup di keluarga yang kaya raya, diberikan intelektual yang baik dan ia diberikan harta warisan yang banyak. Tetapi karena hidup yang terlalu sempurnanya itulah yang membuat ia ketakutan.

Pemikiran Schopenhauer banyak dipengaruhi oleh pandangan Kant dan Buddha. Menurut saya, pandangan Kant dan Buddha mengajak kita ataupun Schopenhauer untuk berfikir kritis. Bagi ajaran Buddha, hidup di alam manusia adalah pederitaan, karena di alam manusia masih penuh dengan hawa nafsu dan terjadi kelahiran kembali. Untuk memberhentikan proses penderitaan, maka kita harus mencapai nibbana. Ajaran Buddha mengajarkan untuk selalu memberikan cinta kasih kepada semua makhluk. Saya kurang setuju atas perlakuan Schopenhauer tehadap kaum wanita, karena dia tidak mencintai semua makhluk hidup, tetapi ia terlalu bergelut dengan pikiran dia sendiri yang negatif, sehingga ia membuat dirinya lebih menderita dan membuat ia menjadi seorang yang pesimistis.

Menurut Schopenhauer dunia sebagai kehendak dimana Schopenhauer menyebutnya “Kehendak Buta”.

Kehendak Buta
1.     Kehendak untuk Hidup
Kesadaran dan intelek pada dasarnya hanya merupakan permukaan jiwa kita. Di bawah intelek terdapat kehendak yang tidak sadar, suatu daya atau kekuatan hidup yang abadi, suatu kehendak dari keinginan yang kuat.
-   Kehendak adalah suatu daya atau kekuatan hidup yang abadi dari keinginan yang kuat. Orang melakukan sesuatu tidak mengandalkan refleksi, sebab sumber perbuatan mereka adalah kehendak yang setengah sadar untuk hidup. Manusia didorong oleh apa yang mereka rasakan, yakni oleh naluri-naluri yang keberadaannya tidak mereka sadari.

-     Kehendak adalah pusat organ pikiran, satu-satunya unsur permanen dan tidak dapat berubah dalam jiwa. Kehendak merupakan pemersatu kesadaran, ide-ide dan pemikiran-pemikiran, serta mengikatnya dalam satu kesatuan yang harmonis.
  
2.     Kehendak untuk Reproduksi
Kehendak untuk hidup dapat mengalahkan kematian dengan melakukan reproduksi. Reproduksi adalah tujuan utama dan naluri yang paling kuat dari setiap organisme, karena dengan cara itu kehendak menaklukan kematian.

3.     Kehendak sebagai Kejahatan
Jika dunia merupakan kehendak maka dunia adalah dunia penderitaan. Kehendak mengisyaratkan keinginan; keinginan selalu lebih besar dan lebih banyak daripada apa yang diperoleh. Akibatnya pemenuhan keinginan tidak pernah memuaskan, sehingga seringkali membawa ketidakbahagiaan daripada kebahagiaan. Karena tuntutan nafsu seringkali bertentangan dengan kesejahteraan pribadi kita dan membuatnya menjadi lemah. Kontradiksi merusak diri setiap individu, keinginan yang terpenuhi mengembangkan keinginan baru yang lebih besar, demikian seterusnya tanpa ada batasnya. 

Hidup adalah penderitaan karena hidup adalah peperangan. Setiap spesies bertarung, bahkan dengan cara melawan dirinya sendiri, untuk memperebutkan materi, ruang, dan waktu. Agar hidup bahagia, maka hiduplah seperti anak-anak. Anak-anak mengira bahwa kehendak dan usaha merupakan kenikmatan; mereka belum menemukan keserakahan dari keinginan dan kurangnya pemenuhan kebutuhan; mereka belum merasakan sakitnya kekalahan.


Kebijakan Hidup
1.     Filsafat
Kehidupan yang sepenuhnya dicurahkan untuk mengejar kekayaan pada prinsipnya adalah kehidupan yang tidak berguna, kecuali kita tahu bagaimana kekayaan itu diubah menjadi kenikmataan. Manusia adalah mahluk yang berkehendak yang sumbernya terdapat di sisitem reproduksi, dan baru kemudian sebagai subjek dari pengetahuan murni yang sumbernya adalah otak. Filsafat, pada akhirnya, berfungsi sebagai alat memurnikan kehendak, akan tetapi filsafat harus dimengerti sebagai pengalaman dan pemikiran, bukan sebagi pembacaan atau studi pasif. Kebahagian kita tergantung apa yang ada dalam pikiran kita, bukan apa yang kita miliki didalam kantong kita. Jalan keluar dari kehendak kejahatan adalah renungan yang cerdas tentang kehidupan.

2.     Jenius
Jenius adalah bentuk tertinggi dari pengetahuan yang tidak banyak unsur kehendaknya. Jenius adalah objektifitas yang paling lengkap. Jenius adalah daya atau kekuatan yang meninggalkan kepentingannya sendiri, menghapus keinginan dan tujuannya sendiri, menunda kepribadiannya untuk sementara waktu sehingga bisa menjadi subjek yang sungguh-sungguh bisa mengetahui, dan visinya tentang dunia jelas. Akan tetapi, konsekuensinya, jenius terpaksa hidup dalam isolasi, dan kadang-kadang dalam kegilaan. Perasaannya yang amat sensitif, dipadukan dengan imajiansi dan intuisinya, ditambah dengan kesendirian dan ketidakmampuannya untuk beradptasi, membuat jiwanya terputus dari kenyataan.

3.     Seni
Objek ilmu adalah hal universal, yang berisi banyak hal yang partikuler. seni mencapai tujuannya lewat intuisi dan presntasi. Ilmu berdampingan dengan bakat, seni berdampingkan dengan jenius. Kekuatan seni untuk mengakat kita pada keabadian, terutama dimiliki oleh musik. Seni-seni lain adalah tiruan dari ide, sedangakan musik adalah tiruan dari kehendak itu sendiri. Musik mempengaruhi perasaan kita secara langsung, tanpa melalui ide-ide.

 4.     Agama
Pada mulanya agama digambarakan sebagai metafisik dari manusia-manusia yang bergerombol. Tetapi, kemudian dilihat makna yang terkandung di dalam praktek-praktek dan dogma-dogma agama.


Kebijaksanaan Dari Kematian Dan Tragedi Perempuan
Melalui nirwana individu meraih kedamaian tanpa kehendak, dan menemukan pembebasan. Akan tetapi, setelah individu merasa damai dan bebas, kemudian apa?

Satu-satunya penaklukan akhir dan radikal atas kehendak adalah menghentikan sumber kehidupan, yakni kehendak untuk reproduksi. Kepuasaan yang timbul akibat dorongan reproduktif harus dikutuk karena kepuasan seperti itu merupakan penegasan yang paling kuat atas nafsu untuk hidup.

Dan yang terutama melakukan kejahatan itu adalah perempuan. Karena ketika pengetahuan telah sampai pada tiadanya kehendak, pesona yang bodoh dari perempuanlah yang menggoda laki-laki untuk beranak pinak. Anak-anak muda tidak cukup cerdas utnuk melihat betapa singkatnya pesona perempuan tersebut, dan ketika akal sehat mulai berfungsi lagi, ia sudah lama terperosok. Oleh sebab itu, semakin kurang kita berhubungan dengan perempuan, semakin baiklah hidup kita. Hidup terasa lebih aman, lebih menyenangkan, lebih halus tanpa perempuan. Biarkan para lelaki memahami jerat yang dipasang pada kecantikan perempuan, maka komedi absurd reproduksi pasti akan berakhir. Perkembangan intelegensi akan memperlemah kehendak untuk bereproduksi, dan dengan demikian suatu ras akan punah. Dan, dengan begitu, penderitaan hidup akan berakhir.

Evaluasi Kritis Atas Pemikiran Schopenhauer
Diagnosa terhadap manusianya bisa dimulai dari pengakuan Schopenhauer, bahwa kebahagian manusia tergantung pada keberadaannya, dan bukanlah pada lingkungan luarnya. Pesimisme adalah tuduhan yang dilancarkan oleh orang yang pesimis. Dari keadaan jasmani yang sakit dan jiwa yang neurotic, dan kehidupan waktu senggang yang kosong dan suasana hati yang muram, muncullah fisiologi filsafat Schopenhauer.

Schopenhauer berhasil mengajarkan kepada kita tentang keniscayaan jenius dan nilai seni. Ia melihat bahwa kebaikan yang tertinggi adalah keindahan dan bahwa kenikmatan yang paling mendalam terletak pada penciptaan karya seni dan kesenangan pada yang indah.


DAFTAR PUSTAKA

http://psychoexpo.blogspot.co.id/2010/05/kehendak-buta-filsafat-arthur.html

Abidin, Zainal. 2011. Filsafat Manusia. Memahami Manusia Melalui Filsafat. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya

Jumat, 25 Maret 2016

Pokok-Pokok Pemikiran Rene Descartes

POKOK-POKOK PIKIRAN RENE DESCARTES


Rene Descartes adalah seorang filsusuf berkebangsaan Perancis dan beragama katholik sekaligus penganut bid’ah Galileo yang pada waktu itu masih ditentang oleh tokoh-tokoh gereja. Rene Descartes lahir di La Haye, Perancis 31 Maret 1959. Rene Descartes sering disebut sebagai “Bapak Filsafat Modern”, menurut Bertnand Russel gelar itu diberikan kepada Descartes karena dialah orang pertama pada zaman modern yang membangun filsafat yang berdiri di atas keyakinan diri sendiri yang dihasilkan oleh pengetahuan rasional Karyanya yang terpenting adalah Discours de la method (1637) dan Meditationes de prima Philosophia (1641). Kedua buku ini saling melengkapi satu sama lain. Di dalam kedua buku ini ia menuangkan metodenya yang terkenal yaitu metode keraguan Descartes (Cartesian Doubt) atau sering disebut cogito Descartes.

Rene Descartes memiliki pokok-pokok pikiran dalam filsafat, antara lain:

1 .    Cogito Ergo Sum
Ia berusaha mendapatkan pengetahuan yang tidak dapat diragukan. Untuk menemukan basis yang kuat dalam filsafat, ia meragukan terlebih dahulu segala sesuatu yang diragukan dan ia menyimpulkan bahwa 3 pengetahuan dapat diragukan, yaitu:
a.     Pengetahuan yang berasal dari pengalaman inderawi dapat diragukan
Contoh: memasukkan kayu lurus ke dalam air, kayu tersebut tampak bengkok

b.     Fakta umum tentang dunia
Contoh: api itu panas, benda yang berat akan jatuh juga dapat diragukan. Descartes menyatakan bagaimana jika kita mengalami mimpi yang sama berkali-kali dan dari sana kita mendapatkan pengetahuan umum tersebut.

c.     Logika dan matematika, prinsip-prinsip logika dan matematika juga dapat diragukan.
Contoh: bagaimana jika ada suatu makhluk yang berkuasa memasukkan ilusi dalam pikiran kita, dengan kata lain kita berada dalam suatu matriks.


Berdasarkan keraguan tersebut, Descartes mengeluarkan pendapat yaitu cogito ergo sum (aku berfikir, maka aku ada).

2.     Ide-ide bawaan
Karena kesaksian apapun dari luar tidak dapat dipercaya, maka menurut Descartes ia harus mencari kebenaran dalam dirinya dengan menggunakan norma dan jika metoda dilangsungkan apakah hasilnya. Descartes berpendapat bahwa dalam dirinya dapat ditemukan tiga “ide bawaan”. Ia merasa ketiga ini sudah ada dalam dirinya sejak lahir masing-masing ialah pemikiran, Tuhan, dan keluasan.
a.     Pemikiran
Sebab saya memahami diri saya sebagai makhluk yang berfikir, harus diteruma juga bahwa pemikiran merupakan hakikat saya.

b.     Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna
Karena saya mempunyai ide sempurna, mesti ada suatu penyebab sempurna untuk ide itu karena akibat tidak bisa melebihi penyebabnya. Wujud yang sempurna itu tidak lain daripada Tuhan.

c.     Keluasan
Materi sebagai keluasan atau ekstensi, sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.

3.     Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa selain Tuhan, ada dua subtansi:
a.     Pertama, jiwa yang hakikatnya adalah pemikiran.
b.     Kedua, materi yang hakikatnya adalah keluasan

Akan tetapi, karena Descartes telah menyangsikan adanya dunia di luar aku, ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan keberadaannya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materil ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya ia memberi say aide keluasan, sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Dengan demikian, keberadaan yang sempurna yang ada di luar saya tidak akan menemui saya, artinya ada dunia meteril lain yang keberadaannya tidak diragukan, bahkan sempurna.


4.     Manusia
   Descartes memandang manusia sebagai makhluk dualitas. Manusia terdiri dari dua sebstansi, yaitu jiwa dan tubuh. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya, tubuh tidak lain dari suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi yang satu sama sekali terpisah dari substansi yang lain, sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya, Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya, pengaruh jiwa atas tubuh. Satu kali ia mengatakan bahwa kontak antara tubuh dan jiwa berlangsung dalam grandula pinealis. Akan tetapi, akhirnya pemecahan ini tidak memadai bagi Descartes sendiri.


SUMBER

http://azimatus.blogspot.co.id/2016/02/pemikiran-descartes-1596-1650.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Ren%C3%A9_Descartes

http://kharirotunnadhrohs.blogspot.co.id/2013/06/pemikiran-rene-descartes.html

http://www.academia.edu/7411507/Tokoh_Filsafat_Modern_Rene_Descartes_Cogito_Ergo_Sum